Pengikut

Senin, 15 Oktober 2018

CERPEN

Bukan Anak Tiri

Hasil gambar untuk cerita aku bukan anak tiri


Hari yang cerah tak secerah hidup yang aku jalani selama ini. Sampai pada usiaku yang menginjak 17 tahun aku belum pernah sama sekali mendapatkan kasih sayang tulus dari seorang ibu. Ya, ibu memperlakukanku dengan tidak adil, sampai kadang aku merasa seperti anak pungut.

Sejak kecil, sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu, aku mulai mendapatkan perlakuan berbeda dari ibuku sendiri. “Kamu kan sudah besar, cuci baju kamu sendiri”, aku ingat benar kata-kata pedas itu, padahal kak Nina yang usianya terpaut satu tahun di atasku masih dicucikan bajunya.

Saat itu aku belum begitu paham maksud dari perlakuan ibu padaku, sampai suatu hari aku mulai mendengar percakapan-percakapan orang tentang perlakuan ibu padaku.

“Bu Risti benar-benar tega ya sama anak perempuannya sendiri…?”
“Memang kenapa Jeng, kok begitu?”
“Ya itu, apa kamu tidak lihat perlakuan dia sama anak sulungnya si Dian. Dian itu seperti anak tiri saja, beda dengan kakaknya yang selalu dimanja…”
“Iya juga ya…”

Itulah sepenggal percakapan yang pernah aku dengar dari ibu-ibu tetangga yang sedang belanja sayur. Sejak itu aku baru sadar bahwa ibu memang seperti tidak sayang denganku.

Bukan hanya perasaanku, perlakuan ibu memang aneh, sering kali ibu marah tanpa sebab kepadaku. Pernah suatu hari aku dimarah gara-gara tidur siang, “Dian, bangun kamu… jam segini kok tidur terus, beres-beres rumah!”, teriak ibu waktu itu.

Mendapatkan perlakuan berbeda dari ibu aku tetap tidak berburuk sangka, kadang ayah selalu mengingatkan aku untuk menghormati dan menyayangi orang tua.

Untungnya, perlakuan ibu kepadaku membuat aku lebih dewasa dan tanggap. Bukan hanya itu, bekal setiap hari di suruh-suruh seperti pembantu aku pun sangat terampil mengerjakan tugas rumah. sangat berbeda dengan kak Nina. Sampai pernah suatu hari aku kasihan pada kak Nina, ia sama sekali tidak bisa apa-apa karena terlalu dimanja oleh ibu.

“Nin… tolong ayah buatkan mie goreng, ayah lapar…”
“Ah ayah, Dian kan ada….”
“Ya anak ayah kan bukan hanya Dian, ayah pengen dibuatkan anak ayah yang cantik ini….”
Akhirnya kak Nina pun membuatkan ayah mie goreng. Malang, ketika menghidupkan kompor ia lupa mematikannya kembali dan kompor pun meledak. Untungnya kak Nina tida apa-apa.

Sejak saat itu ayah tidak pernah lagi menyuruh kak Nina. Semenjak kejadian itu ibu pun semakin memanjakan kak Nina sampai akhirnya kak Nina berubah jadi bandel. Semakin hari semakin nakal, tapi rupanya aku terus yang disalahkan.

“Dian… sini kamu, cuci sepatu kakak!”
“Tapi kak, kakak kan bisa mencuci sendiri!”
“Kamu ini di suruh kakak membantah ya, sudah sana cuci!”
“Iya kami Dian, kalau di suruh orang tua tidak usah menjawab terus, cepat kerjakan

Kakak dan ibu selalu memperlakukan aku seperti pembantu, disuruh cuci baju, cuci piring, mengepel. Kadang aku kesal tapi ayah selalu mengingatkanku.

“Tidak apa-apa nak, ibu kamu kan sudah tua, kasihan dia, kalau bukan kamu siapa lagi”, ucap ayah menasehati aku
“Tapi Yah, kan ada kak Nina, seharusnya dia yang melakukan semua itu…”, jawabku sedikit kesal
“Iya nak, tidak apa-apa, kakak kamu kan tidak bisa….”, ucap ayah lagi.

Karena nasehat ayah aku pun akhirnya ikhlas melakukan semua itu. Aku ikhlas diperlakukan tidak adil oleh ibuku sendiri, ibu kandung. Aku ingat pesan ayah, “nanti kalau sudah waktunya ibu kamu pasti sadar nak, sabar ya”, itulah nasehat ayah padaku.

Waktu terus berlalu bahkan sampai kini usiaku sudah hampir 20 tahun. Ibu dan ayah sudah semakin tua tapi beban hidup mereka belum berkurang. Semakin hari kak Nina justru semakin nakal dan itu membuat ayah semakin sedih. Ibu pun terlihat mulai letih menuruti semua kemauan kak Nina. Sampai akhirnya ibu mulai sakit-sakitan.

Pada 29 Juli 2016 tepatnya menjelang subuh ibu jatuh di kamar mandi sampai akhirnya ia tidak bisa apa-apa. Ibu terkena serangan jantung, kini ibu hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Melihat ibu yang sudah tidak apa-apa aku sangat sedih tapi kak Nina biasa saja. Setiap hari hanya aku yang merawat ibu bergantian dengan ayah. Setelah satu bulan lebih ibu hanya bisa berbaring sekarang ibu sering sekali menangis sendiri, terutama ketika aku mengganti popok-nya dan menyuapi ibu makan.

Pernah aku bertanya kenapa ibu terus menangis ketika aku suapi tapi ibu hanya bisa menangis lebih keras sampai akhirnya aku tak pernah lagi menanyakan hal itu. Melihat ibu yang kondisinya terus memburuk suatu malam ayah memanggilku.

“Nak ibu kamu sepertinya sudah tidak lama lagi…”, ucap ayah
“Maksud ayah apa”, jawabku sambil menahan air mata
“Sudah waktunya ibu meninggalkan kita semua, tapi ibu masih tertahan satu hal yaitu rasa bersalah kepada kamu nak…”

“Ayah tidak boleh bicara seperti itu….”
“Iya nak, ayah tahu, tapi ayah minta tolong kamu bilang sama ibu kalau kamu menyayangi dia dan telah memaafkan semua perlakuan dia selama ini… ya nak ya, kasihan ibu…”

Aku pun menuruti nasehat ibu, pagi itu setelah memandikan ibu aku membantunya sarapan. Baru satu dua suap ibu sudah menangis, ibu tidak mau lagi makan. Kemudian aku memeluk ibu sambil menangis.
“Bu… maafkan aku ya bu, aku belum bisa membahagiakan ibu… Dian sangat sayang sama ibu, ibu jangan sedih ya….”
Tampak ibu semakin keras menangis, dan kulihat gerakan tangan ibu seperti akan mengelus rambutku. Aku pun mengangkat tangannya dan memeluknya. “Dian sayang ibu, ibu tidak usah memikirkan apa-apa lagi, yang penting ibu cepat sembuh ya bu”.

Sejak saat itu ibu tidak pernah memangis lagi, bahkan ibu sudah mulai bisa tersenyum ketika aku suapi makan. Tapi saat itu tidak lama, satu minggu kemudian ibu meninggal, semua keluarga bersedih kecuali kak Nina.





--- oOo ---

5 komentar:

SEJARAH FARMASI

        Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Saat...